Gunung Sumbing: Gunung Tertinggi Ketiga Se-Jawa dan Delapan Pendaki Pemula

Aflah Kuncoro
6 min readJul 31, 2023

--

Tulisan kali ini akan membahas perjalanan Vuvuwawa Team, lima tahun yang lalu ketika menikmati indahnya Gunung Sumbing. Sekadar informasi yang mungkin sudah teman-teman ketahui, Gunung Sumbing merupakan gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa, setelah Semeru dan Slamet. Gunung ini terletak di antara tiga kabupaten, yaitu Magelang, Temanggung, dan Wonosobo.

Sebelum memasuki cerita perjalanan, alangkah baiknya jika saya menjelaskan apa itu Vuvuwawa Team. Vuvuwawa Team merupakan kelompok perjalanan yang berisi anggota dari komunitas dengan nama Vuvuwawa. Pada perjalanan kali ini, rombongan kami berjumlah delapan orang. Rombongan Vuvuwawa Team edisi Gunung Sumbing kali ini, semua anggotanya merupakan pendaki pemula.

Kami keseluruhan berasal dari Klaten dan kebetulan satu SMA. Langsung saja kita masuk ke pembahasan cerita. Seluruh anggota sepakat untuk berkumpul di SMA kami, selepas salat Zuhur dilanjut mengisi perut di rumah makan Padang yang tidak jauh dari tempat kami berkumpul. Kami langsung tarik gas dalam-dalam menuju Kabupaten Wonosobo, tepatnya di Basecamp Garung.

Perjalanan Vuvuwawa Team edisi Gunung Sumbing dari Pusat Kabupaten Klaten menuju Basecamp Garung di Wonosobo, memakan waktu kurang lebih 4 jam. Setidaknya melewati tiga kabupaten, yaitu Sleman, Magelang, dan Temanggung. Dengan mengendarai lima sepeda motor, dua orang menunggangi sendiri, sisanya boncengan. Perjalanan sangat kami nikmati. Lancar dan tak ada kendala sampai basecamp tujuan.

Kami tiba hampir bersamaan dengan azan magrib berkumandang. Setelah registrasi kemudian salat Magrib, kami memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu di warung sekitaran basecamp sambil membuat rencana pendakian. Setelah berunding, melihat situasi yang cukup berkabut tebal, seluruh anggota tim sepakat untuk bermalam terlebih dahulu di warung tersebut. Untuk menyimpan tenaga guna dipakai keesokan harinya, kami tidur lebih cepat malam itu.

Keesokan harinya pukul 06.00 WIB, pendakian dimulai. Perjalanan menuju Pos 1 dapat ditempuh dengan ngojek. Ojek di sana cukup unik, dengan motor yang sudah dimodifikasi, pendaki yang menumpang berada di depan driver. Medan menanjak berbatu dengan kecepatan lumayan tinggi saya rasa cukup menaikkan adrenalin.

Butuh 10–15 menit untuk menuju Pos 1 dengan ngojek, tergantung driver-nya. Perjalanan langsung dilanjut menuju Pos 2. Masih belum ada tantangan “lebih” di sini. Namun, jalur yang dilalui dari Pos 1 ke Pos 2 lumayan jauh. Sekitar 70 menit waktu yang dibutuhkan untuk menuju Pos 2. Di Pos 2 kita dapat melihat Gunung Sindoro dengan jelas.

Perjalanan mulai menantang selepas meninggalkan Pos 2. Berhubung Vuvuwawa Team edisi ini mendaki pada musim kemarau, Engkol-engkolan yang berada di antara Pos 2 dan Pos 3 menjadi medan penuh debu yang menantang. Apalagi ketika berpapasan dengan pendaki yang turun dengan ndlosor, debu semakin mengepul tak keruan. Ini menjadi medan paling seru yang kami lalui. Setelah melampaui Engkol-engkolan yang menakjubkan, kami beristirahat sebentar sebelum menuju ke Pos 3. Semangat sudah kembali terkumpul, kami berjalan lagi ke Pos 3, tak securam Engkol-engkolan, tetapi tetap butuh upaya “lebih”.

Setelah berjalan sekitar 80 menit kami sampai di Pos 3. Berhubung di Pos 3 tempatnya kurang cocok untuk mendirikan tenda, rombongan menuju ke tempat berikutnya, camping ground. Tempat tersebut menjadi tempat bagi banyak pendaki untuk mendirikan tenda. Perjalanan dari Pos 3 menuju camping ground membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Setelah berunding dan menimbang-nimbang, kami memutuskan untuk mendirikan tenda dome di camping ground. Rencananya kami akan summit attack pada sore hari untuk mengejar sunset. Kami beristirahat di tenda sampai sekitar pukul dua siang.

Setelah beristirahat, kami bersiap-siap menuju Puncak Sejati Gunung Sumbing. Tak lupa kami menyempatkan diri untuk mencicipi makanan di warung yang terletak di atas camping ground. Sekadar informasi, warung tersebut dikelola oleh seorang pemuda bernama Murtafaqo, yang biasa dipanggil Mas Taqo. Berdasarkan informasi yang didapat dari Mas Taqo, beliau setiap harinya naik turun gunung untuk berjualan di sana. Hebatnya, bukan hanya dilakukan setiap hari, beliau juga hanya butuh kurang lebih 2 jam untuk sampai ke camping ground dari Pos 1. Ia tidak sendirian tentunya, ditemani oleh temannya yang belum sempat kami tanyakan nama beliau. Mas Taqo dan temannya berdua baru mulai berjualan setelah Lebaran 2018.

Warung Mas Taqo

Setelah berbincang-bincang dan bertanya perihal perjalanan menuju Puncak Sejati dengan Mas Taqo dan temannya. Informasi yang kami dapat salah satunya adalah dari warung tersebut sampai ke Puncak Sejati dibutuhkan waktu sekitar 3 jam. Seluruh anggota rombongan sudah sepakat untuk mengejar sunset, kami pun berangkat pukul setengah tiga.

Selepas meninggalkan warung, jalan yang dilalui menjadi lebar bak Jalan Jogja Solo dan tentunya lebih terbuka. Vegetasi yang tumbuh di sepanjang jalan lebar tersebut kebanyakan berasal dari jenis rerumputan. Setelah berjalan kurang lebih satu setengah jam, kami baru tiba di Watu Kotak. Di sana kami istirahat sejenak sekaligus salat Asar. Perjalanan kembali berlanjut. Menurut informasi di warung tadi, ketika sudah bertemu dengan jalan putih (tanah kapur), rombongan disarankan untuk mengambil jalan di sisi kanan apabila ingin langsung menuju puncak tertinggi dari Gunung Sumbing, Puncak Sejati.

Matahari sudah mulai membenamkan diri di ufuk barat, ternyata perkiraan waktu tidak sesuai dengan pelaksanaannya. Pada saat itu juga, kami bertemu dengan Mas Fauzi yang berasal dari Bandung dan dua orang lainnya, kebetulan nama dan asalnya saya sedikit lupa. “Masih satu jam Mas, buat sampai puncak”, ucap Mas Fauzi. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dengan cukup kecewa rombongan memutuskan untuk kembali ke camping ground. Pasalnya bukan hanya hari yang sudah memasuki malam, tetapi air yang kami bawa sudah hampir habis dan beberapa anggota rombongan mulai kedinginan.

Sunset

erjalanan menuju camping ground tidaklah mudah. Penerangan yang minim, udara dingin, serta debu yang tak terlihat di malam hari kadang masuk ke lubang-lubang yang ada di dalam wajah. Suasana yang kurang mengenakkan tersebut diselingi dengan penampakan milky way di langit Gunung Sumbing yang sangat indah. Sebuah masalah muncul, ketika anggota yang salah kostum — memakai sepatu running licin — merasa kesulitan ketika rombongan terlalu cepat. Di sisi lain ada dua orang yang berasal dari rombongan lain (kebetulan kami turun bersama rombongan lain) buru-buru sampai ke Warung Mas Taqo sebelum tutup, karena menitipkan tas di sana. Akhirnya, rombongan terpisah menjadi dua, yang kemudian karena beberapa orang di rombongan pertama terlalu cepat, rombongan kembali terpisah, menjadi tiga rombongan. Syukurnya tidak ada yang cedera, lebih-lebih tersesat. Kami juga menyempatkan diri mampir di tenda Mas Fauzi dan teman-temannya. Setelah sedikit berbincang dan disuguhi kopi, kami kembali ke tenda.

Sesampainya di tenda, setelah salat dan sedikit berberes diri, kami sedikit mengepulkan nesting untuk mengisi kembali tenaga sambil bercakap mengenai keadaan apabila malam tersebut kami di rumah. Memang kalau sudah dalam kondisi yang melelahkan di suatu tempat asing maka nyamannya rumah baru akan terasa. Malam itu juga kami sudah berdamai dengan rasa kecewa tidak sampai puncak. Kami sepakat, keselamatan lebih penting daripada puncak gunung manapun.

Keesokan harinya, setelah puas berfoto ria dan merapikan kembali tenda dan isi tas. Kami bersama-sama turun pada pukul 07.30 WIB dan sampai di Pos 1 sekitar pukul 10.00 WIB. Sekilas saja mengenai perjalanan turun, tentu hal yang paling menarik adalah saat bersama-sama mengepulkan debu di Engkol-engkolan. Tak kalah menarik juga ketika dua orang — yang sudah duluan sampai ke basecamp dengan ojek dua puluh lima ribunya — sedikit kecewa karena enam orang lainnya mendapat tebengan gratis dari sopir mobil bak terbuka yang kebetulan melintas.

Rombongan

Salat Jumat kami laksanakan di masjid dekat basecamp, setelahnya kami pulang. Salah satu anggota yang punya nenek di Magelang mengajak untuk mampir sekaligus bersilaturahmi. Kembali melanjutkan perjalanan sekitar pukul setengah lima sore. Sebuah kejadian sedikit menyebalkan terjadi ketika rombongan melintas di Sleman. Rantai motor saya lepas dan parahnya njundet. Hampir tiga per empat jam kami ngutek-utek sampai akhirnya datang bapak-bapak membantu dan roda motor saya dapat kembali berputar dengan normal. Persiapan dari segi kendaraan sangatlah penting dalam sebuah perjalanan. Hal ini yang kurang saya perhatikan sebelum berangkat.

Tibalah kami di Klaten sekitar pukul 20.30 WIB. Sebuah perjalanan mantab nan seru telah kami lalui di penghujung libur Lebaran, sebelum kembali memasuki rutinitas satu semester yang akan kami lalui sebagai pelajar SMA. Sekian.

Catatan: tulisan ini pertama kali diunggah di vuvuwawa.com pada tahun 2018 dan diunggah kembali di laman ini dengan sedikit penyuntingan.

Unlisted

--

--